Kamis, 22 Maret 2012

Kado terakhir


Kado untuk Rara
Oleh : Melva Rosdhi L

Pagi ini suasana terasa membosankan, karena hari ini adalah hari pertamaku untuk kembali beraktivitas di sekolah, setelah beberapa hari menikmati liburan kenaikan kelas. Kembali terbayang oleh ku, kesenanganku saat liburan beberapa hari yang lalu. Sungguh menyenangkan bisa mengistirahatkan pikiranku sejenak dari tugas-tugas  sekolah.
            “Andien, cepat berangkat. Sudah jam 7, nanti kamu terlambat”, suara ibuku membuatku tersadar dari lamunanku.
            “ Iya, Bu. Sebentar lagi aku berangkat”, jawabku sambil mengambil tas di meja belajarku. Sebelum keluar dari kamar kembali aku melihat ke cermin untuk memastikan aku sudah berpakaian dengan rapi. Aku tidak ingin hari pertamaku masuk sekolah rusak hanya karena hal sepele. Setelah merasa yakin tidak ada yang salah dengan penampilanku, aku segera keluar dari kamar dan berpamitan dengan Ibu

            Kulangkahkan kakiku dengan gontai saat aku memasuki gerbang sekolah. Kulihat beberapa temanku sudah mulai berdatangan. Tampaknya mereka sangat bersemangat menyambut hari ini.
            “ Hai, Andien”, sapa salah seorang temanku,.
            “ Hai juga.. “, jawabku singkat sambil berusaha untuk tersenyum manis. Aku kembali meneruskan langkahku menuju ruang kelasku yang baru. Tinggal bebarapa langkah lagi aku akan tiba di kelas baruku. Terbayang oleh ku tugas-tugas yang akan aku terima nantinya. Karena saat ini aku sudah duduk di kelas XII.
Saat aku sudah berada di depan kelasku, tiba-tiba ada sesorang yang menabrakku, sontak buku yang ada di tanganku melayang, jatuh berhamburan dilantai, dan tak ketinggalan saking kagetnya aku, akupun ikut jatuh. Rasanya ingin sekali aku segera melihat orang yang menabrakku dan membuat perhitungan dengannya. Namun apa daya, kepala terasa pusing karena berbenturan dengan tiang yang ada di sebelahku. Saat aku melihat orang yang menabrakku, kulihat sosok yang asing bagiku, sosok yang belum pernah aku lihat selama 2 tahun aku bersekolah di sekolah ini. “ Siapa orang ini, kenapa rasanya asing sekali buatku”, gumamku dalam hati. Orang itu berusaha membantuku bangun, seolah dia tahu aku tidak mampu bangun sendiri karena pusing.
Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri, kuraih tangannya. Dia segera meminta maaf padaku dan membantuku membereskan buku-bukuku yang masih berserakan dilantai.
“ Maaf ya, aku tadi gak sengaja. Aku buru-buru,” katanya dengan muka yang agak memelas.
“ Iya, gak apa-apa kok. Tapi lain kali kalau jalan lihat-lihat,” jawabku dengan perasaan yang sedikit kesal.
Aku segera berlalu meninggalkan orang itu dan segera masuk keruang kelasku. Disana kulihat Rara yang sudah siap menyambutku dengan senyuman. Rara melambaikan tanggannya kearahku. Aku segera menuju ketempat dimana Rara duduk, aku segera duduk disampinya dengan wajah yang masih kesal. Rara merasa ada yang lain dari diriku.
“Kamu kenapa, Ndin? Gak biasanya pagi-pagi begini kamu cemberut, biasanya kamu kan selalu ceria”, tanya Rara heran.
“Hmmm… gak ada apa-apa kok, An”, balasku sambil tersenyum. Aku enggan untuk menceritakan kejadian yang kualami pagi ini, karena menurutku itu bukanlah hal yang penting.
“Ayolah, Ndien. Kamu kenapa? Cerita dong sama aku. Mungkin dengan cerita sama aku bisa bikin hatimu lebih tenang”, kata Rara. Benar juga apa yang dikatakan Rara mungkin dengan bercerita beban di hatiku bisa sedikit berkurang. Akhirnya kuceritakan semua kejadian pagi itu, mulai dari aku yang masih malas untuk beraktivitas di sekolah sampai ada seseorang yang asing, yang tadi baru saja menabrakku.
Rara adalah salah satu sahabat terbaikku. Aku mengenalnya saat aku duduk dikelas satu SMP. Saat itu aku tidak mempunyai teman. Karena saat itu aku masih sangat pemalu dan pendiam aku tidak terlalu suka berbicara jika tidak ada yang bertanya padaku.  Kebetulan saat itu Rara juga tidak mempunyai teman. Tapi saat itu aku tidak tertarik untuk berkenalan dengannya, karena jika dilihat-lihat nampaknya dia kurang menyenangkan dan sedikit sombong. Namun karena ada suatu hal, yaitu aku harus satu kelompok dengannya. Mau tak mau aku harus berkenalan dengannya. Ternyata semua dugaanku salah. Rara tidaklah seprti yang kubayangkan. Rara ternyata sangatlah baik. Dia bisa menerima semua yang ada pada diriku. Sejak saat itu dan Rara menjadi teman dekat, bahkan lebih dari itu kami menjadi sahabat.
  “Hhaahaha……”, Rara tertawa saat aku mengakhiri ceritaku. Aku menjadi sedikit kesal mendengar tawa Rara.
“ Sudahlah, Ndien jangan terlalu kamu pikirin”, kata Rara kemudian.
“Iya, Ra”.
Krriiiiingg….. Suara bel itu membuatku dan Rara terlonjak kaget, dan menghentikan pembicaran kami. Teman-teman satu per satu mulai memasuki kelas, membuatku enggan untuk melanjutkan pembicaranku dengan Rara. Aku lebih memilih diam dan memperhatikan teman-temanku yang mulai membuat suasana di kelas menjadi ramai bak suasana di pasar. Entah apa saja yang mereka bicarakan dan lakukan hingga membuat suasana kelas menjadi sangat riuh.
Tiba-tiba mataku tertuju pada seseorang yang baru saja masuk ke kelasku. Aku memperhatikan orang itu. Setelah agak lama memperhatikannya aku tau siapa orang itu. Dia adalah orang yang tadi pagi menabrakku. Belum sempat aku menceritakan hal itu kepada Rara, orang itu sudah menghampiriku dan mengajak aku dan Rara berkenalan.
“ Hai, boleh kenalan gak? Aku Daniel,” kata cowok itu pada kami.
“Iya, boleh. Aku Rara dan ini temanku Andien,” sahut Rara.
“Senang berkenalan dengan kalian. Siapa namamu tadi aku lupa. Oh iya Andien aku minta maaf ya kejadian yang tadi pegi. Aku benar-benar tidak sengaja,” kata  cowok itu lagi yang ternyata bernama Daniel. Aku tidak menanggapi perkataan  Daniel, aku hanya tersenyum. Daniel pun segera berlalu dan segera menuju tempat duduknya, yang berada tepat dibelakangku.
“Kamu kenal dia, Ndien?” tanya Rara.
“Enggak kok. Itu thu orang yang tadi pagi menabrak aku,” jawabku.
“ooo….” Jawab Rara dengan senyum. Pembicaraan kami terhenti karena Pak Heri sudah masuk ke kelas dan siap untuk mengajar.


Sejak aku dan Rara berkenalan dengan Daniel, kami bertiga menjadi teman baik. Kami sering pergi bersama, mengerjakan tugas bersama, dan melakukan hobi kamu bersama yaitu membaca buku di perpustakaan. Suatu hari saat aku, Rara, dan Daniel sepakat untuk pergi ke toko buku seusai sekolah, kami ingin mencari buku referensi tambahan.
Kriiiiiiiingggg……. Bel yang sejak tadi kemi tunggu akhirnya berbunyi juga. Puluhan makhluk dengan seragam putih abu-abu berhamburan keluar kelas. Begitu juga dengan aku, Rara, dan Daniel segera keluar dari kelas. Kami segera menuju ke tempat parkir sepeda. Kami sudah tidak sabar untuk segera pergi ke toko buku. Rara yang saat itu tidak membawa sepeda motor memilih menungguku yang sedang mengambil sepeda motor di depan kelas.
“Andien, aku nunggu kamu di depan kelas aja ya?” kata Rara, sebelum aku menuju ke tempat parkir.
“Iya, udah terserah kamu aja,” jawabku sambil tersenyum. Aku segera melangkahkan kakiku meninggalkan Rara di depan kelas dan segera mengambil sepeda bersama Daniel.
Tak lama kemudian aku sudah kembali berada di depan kelas dengan sepeda motorku dan tentu saja bersama Daniel. Rara segera menghampiri aku, dan bersiap membonceng aku. Namun, aku melihat perubahan wajah pada Rara. Aku merasa Rara sangat pucat. Aku menjadi khawatir.
“ Rara, kamu kenapa? Kamu gak apa-apa kan? Wajahmu sangat pucat,” tanyaku dengan wajah cemas. Mendengar ucapanku, Daniel segera menoleh kearah Rara. Nampaknya, Daniel juga terkejut melihat wajah Rara yang sangat pucat.
“ Kamu kenapa,Ra?? Tanya Daniel dengan nada yang tak kalah cemas.
“Aku gak apa-apa kok. Udah ayo berangkat, ntar keburu sore lho,” jawab Rara menenangkan.
“Kamu yakin, Ra?” tanyaku dan Daniel hamper bersamaan. Rara hanya mengangguk. Dia segera duduk di boncengan sepeda motorku. Aku segera menjalankan sepeda dengan setengah hati. Aku takut terjadi sesuatu dengan Rara. Daniel berada di belakang sepeda motorku. Dia tidak mau mendahului kami. Dia ingin memastikan bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan Rara.
Sesampainya di toko buku, kami segera sibuk dengan buku-buku yang ingin kami beli. Di saat aku sedang memilih-milih buku Fisika, tiba-tiba Daniel mendekatiku.
“Ndien, Rara kenapa ya? Aku tadi lihat dia mengusap hidungnya dengan tissue dan sepertinya dia mimisan, deh?” kata Daniel. Aku terkejut mendengar ucapan Daniel. Selama enam tahun bersahabat dengannya, belum pernah aku melihat Rara mengeluarkan darah dari hidungnya atau yang lebih dikenal dengan “mimisan”. Aku segera menghampiri Rara dengan diikuti Daniel, aku tidak mau terjadi sesuatu dengannya.
“Ra, kamu gak apa-ap?” tanya ku dengan perasaan yang sangat cemas.
 “Lhoh… memangnya aku kenapa?” Rara malah balik bertanya denganku. Rara memang orangnya tidak suka menunjukkan sesuatu yang terjadi padanya, dia lebih memilih memendam sendiri apa yang terjadi padanya. Dia tidak ingin membuat sahabatnya sedih. Itulah Rara, sahabatku. Aku menghela napas panjang mendengar jawab Rara barusan. Tidak ada gunanya bila aku memaksa Rara untuk mengatakan apa yang terjadi padanya, dia tidak akan mengatakannya. Aku lebih memilih diam dan melanjutkan mencari buku-buku. Nampaknya, Daniel juga melakukan hal yang sama. Walaupun Daniel baru saja mengenal Rara, namun Dia sudah cukup paham dengan sifat Rara.
Esok harinya, aku berangkat lebih pagi. Entah kenapa, hari itu aku ingin segera bertemu dengan Rara. Namun sesampainya dikelas, aku tidak mendapati Rara. Aku hanya melihat Daniel yang tengah asyik membaca buku di pojokan. Aku segera menuju tempat dudukku dan Rara, tidak biasanya Rara belum datang. Biasanyakan dia selalu datang pagi-pagi. Untuk mengurangi kegelisahanku, aku berbalik kearah Daniel.
“Daniel, kamu tau gak kemana Rara? Kok dia belum datang ya?”
“Aku tidak tau. Tadi malam dia juga tidak SMS aku,” jawab Daniel. Aku semakin gelisah karena jam tanganku sudah menunjukkan pukul 06.55, itu berarti kurang 5 menit lagi bel tanda masuk berbunyi. Namun, Rara tak kunjung datang. Aku melirik bangku Rara, dengan sedih. Dan benar saja, tak lama kemudian Bel sudah berbunyi. Teman-teman mulai masuk dan membuat kelas menjadi gaduh. Namun, keramaian kelas pagi itu terasa sepi buatku, karena tidak ada Rara. Pak Anton, salah satu guru favoritku memasuki kelas, dan memulai pelajaran. Namun, pelajaran Pak Anton hari itu tidak ada yang masuk dalam pikiranku. Pikiranku hanya tertuju pada Rara, aku ingin pelajaran hari itu segera berakhir agar aku bisa ke rumah Rara, mengetahui apa yang terjadi padanya. Aku tidak tahu mengapa aku menjadi sangat mengkhawatirkan Rara, mungkin karena kejadian kemarin, saat aku melihat Rara yang sangat pucat dan saat di toko buku, Daniel berkata bahwa Rara mimisan. Seakan mengetahui kegelisahanku, Daniel mendorong kursiku, dan membuatku membalikkan badanku ke arahya.
            “Nanti kita kerumah Rara ya? Aku ingin tahu kenapa dia tidak masuk hari ini, aku takut terjadi sesuatu padanya.” Kata Daniel setengah berbisik. Aku hanya mengangguk.
           
            Seusai sekolah aku dan Daniel segera menuju ke rumah Rara. Sesampainya di sana, aku segera mengetuk pintu. Seorang wanita paruh baya membuka pintu sambil tersenyum. Dia adalah Ibu Rara.
            “Selamat siang, Tante. Maaf mengganggu. Raranya ada?” tanya Daniel dengan sopan.
            “Iya, Raranya ada di dalam. Silahkan masuk.” Jawab ibu Rara,dengan ramah. Kami segera mengikuti langakah Ibu Rara masuk ke dalam. “ Rara sedang istirahat di kamarnya. Dia sedang kurang enak badan.” Sambung Ibu Rara. Ibu Rara, mengajak kami menuju ke kamar Rara. Saat Ibu Rara membuka pintu kamar, kulihat Rara sedang terbaring di kamarnya. Wajahnya terlihat pucat.
Setelah Ibu Rara keluar dari kamar itu, aku segera mendekati Rara dan duduk di samping tempat tidurnya. Daniel berdiri disampingku dengan tatapan yang tak jauh berbeda denganku, yaitu tatapan iba dan cemas. Ku genggam tangan Rara. Rara membuka matanya perlahan. Dia tersenyum melihat aku dan Daniel.
“Hai, mengapa kalian kesini? Maaf ya aku tidak memberitahu kalian kalau hari ini aku tidak masuk.” Kata Rara dengan suara yang sangat pelan.
“ Iya, Ra. Tidak apa-apa. Kamu kenapa? Kamu sakit apa?” tanyaku.
“ Aku tidak apa-apa, mungkin aku hanya kelelahan,” jawab Rara.
“Benar kamu tidak apa-apa?” tambah Daniel. Rara hanya mengangguk. Kami bercerita kejadian-kejadian di sekolah hari itu kepada Rara. Sesekali Rara, tertawa atau tersenyum, namun terkadang aku melihat Rara seperti sedang menahan rasa sakit. Tapi kau tidak berani bertanya kepadanya. Tak terasa hari sudah sore, aku dan Daniel segera berpamitan kepada Rara dan Ibunya.

Pagi kembali menjelang, aku segera bersiap ke sekolah. Aku melangkah dengan enggan. Aku pikir pasti hari ini Rara belum masuk. Namun, saat aku memasuki kelas, aku melihat sesorang gadis manis duduk di tempat dudukku dengan senyum manis. Rara, ya Rara sudah masuk sekolah. Semangatku kembali melihat Rara sudah kembali masuk. Aku segera menghampirinya dengan ceria.
“Ndien, ntar pulang sekolah mau gak temenin aku jalan-jalan?” tanya Rara.
“Dengan senang hati,” jawabku ringan.
“Nanti kamu ikut juga ya, Dan?” kata Rara kepada Daniel. Daniel mengangguk dengan senyum.
Sepulang sekolah aku dan Daniel menemani Rara ke jalan-jalan kesebuah pusat perbelanjaan. Disaat kami melewati sebuah toko boneka, Rara berhenti. Dia menatap ke salah satu boneka yang di pajang di etalase toko itu. Sepertinya dia ingin memiliki boneka itu.
“Andien, Daniel lihat deh boneka itu, lucu ya?” kata Rara dengan mata bebinar. Aku dan Daniel saling pandang dan tersenyum.
“Kamu mau beli itu?” tanya Daniel.
“Ah.. enggak, aku gak bawa uang,,heheh” jawab Rara. “ Udah, yuk pulang. Udah sore nih,” lanjut Rara. Kami segera pulang. Di dalam benakku aku berpikir, “satu minggu lagi kan Rara ulang tahun. Aku belikan boneka itu saja.” Saat perjalanan pulang, aku menyampaikan niatku itu kepada Daniel. Danniel sangat mendukungku dan dia mengatakan dia mau patungan untuk membeli boneka itu.


Esok paginya, kembali kudapati Rara tidak masuk sekolah. Namun, aku tidak terlalu khawatir karena Rara meberitahuku mengapa dia tidak masuk. Rara mengatakan bahwa dia tidak enak badan. Terpaksa hari itu aku kembali harus duduk sendiri tanpa di temani Rara. Untung saja Danniel mau berbaik hati menemaniku duduk.
Hari-hariku disibukkan dengan serangkaian tugas. Aku sampai tidak sadar Rara sudah tidak masuk selama tiga hari. Dan aku hamper lupa jika besok adalah hari ulang tahun Rara.
“Ndien, Rara kok udah tiga hari gak masuk ya?” tanya Daniel suatu hari.
“Astaga…iya ya.. kenapa aku baru sadar Rara sudah lama tidak masuk. Oiya.. besok kan Rara juga ulang tahun,” kataku sambil menepuk dahiku.
“Daniel, ntar pulang sekolah temenin aku ke toko boneka yang seminggu lalu kita kunjungi dengan Rara itu,” pintaku kepada Daniel.
“Iyah..” jawab Daniel singkat.

Sore itu dengan ditemani Daniel aku kembali mendatangi toko boneka itu. Aku segera menuju boneka yang di pajang di etalase toko itu. Aku segera membayarnya dan meminta kepada karyawan toko itu untuk membungkus boneka itu dengan kertas kado berwarna biru muda, warna kesukaan Rara. Aku tersenyum puas saat membawa pulang boneka itu. Aku membayangkan wajah Rara yang senang menerima boneka itu.
“Pasti Rara senang menerima boneka itu. Besok kita kerumahnya ya? Kita buat kejutan untuk Rara,” kata Daniel seakan mengerti isi hatiku.
“Iya, Rara pasti senang. Ok. Besok kamu jemput aku ya?” pintaku.
“Ok. Besok aku jemput kamu jam 10,” jawab Daniel.
Ya, besok minggu kami akan membuat sebuah kajutan untuk Rara. Sekaligus aku ingin meminta maaf kepada Rara karena akhir-akhir ini aku tidak terlalu memperhatikannya karena tugas-tugas yang semakin hari semakin banyak.   
            Malamnya aku berbaring di tempat tidurku, sambil membayangkan reaksi Rara besok. Hingga tanpaku sadari aku jatuh terlelap.
            Kriiing…..krrriiiiing….. jam weker di kamarku membangunkanku dari tidur lelapku. Kulirik jam wekerku. Huh.. sudah pukul setengah Sembilan. Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan bersiap pergi kerumah Rara. Pukul 10.00 tepat Daniel menjemputku. Dengan semangat kami menuju kerumah Rara. Tak lupa aku membawa boneka yang kemarin kubeli bersama Daniel sebagai kado ulangtahun Rara.

            Sesampainya di rumah Rara, aku dan Daniel sangat terkejut. Aku melihat banyak orang berada di rumah Rara. Aku segera masuk kerumah Rara. Disana aku melihat kakak Rara, Leni, tengah menangis. Aku mendekati kak Leni. Aku bertanya apa yang terjadi.
            “Kak, apa yang terjadi. Mana Rara,” tanyaku cepat.
            “Rara…rara meninggal,” jawab Kak Leni di sela isak tangisnya. Aku tercenggang, tubuhku serasa di sambar petir. Seketika tubuhku lunglai tak berdaya. Aku langsung terduduk. Tatapanku kosong. Tak bisa aku bayangkan apa yang sedang terjadi. Semuanya bagaikan mimpi. Daniel yang sedari tadi berada disampingku tidak bisa berkata apapun. Seakan dia larut dalam kesedihan.
            Tangisku pecah saat, jenasah Rara sampai dirumah. Aku segera mendekati tubuh Rara yang telah kaku. Ku genggam tangannya, kurasakan tubuhnya yang dingin. Keceriannya telah luntur. Tak ada lagi senyum manis di bibirnya. Seketika dunia seakan berhenti.
            “Andien, ikhlaskan Rara. Mungkin ini sudah jalan hidup Rara,” kata Ibu Rara. Ibu Rara terlihat sangat kuat dan Ikhlas melepaskan kepergian Rara. Aku tetap menangis, aku melihat Daniel yang sesekali mengusap matanya yang basah.
            Aku ikut menghantarkan Rara sampai di peristirahatannya yang terakhir. Aku tidak bisa mengendalikan diriku, aku belum siap untuk kehilangan Rara. Saat jenasah Rara di masukkan ke dalam tanah, aku benar-benar tidak dapat mengendalikan perasaanku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasakan pandanganku menjadi kabur. Aku tidak tau apa yang terjadi padaku setelah itu.
            Saat aku membuka mata, aku melihat sekelilingku. “Aku dimana?” pikirku.
            “Kamu sudah sadar, Andien?” suara itu mengejutkanku. Oh, ternyata Ibu Rara. “Kamu tadi pingsan saat di pemakaman. Sekarang kamu ada di klinik,” Mendengar kata pemakaman, aku kembali menangis, aku belum bisa kehilangan Rara.
            “Andien ini ada titipan dari Rara, sebelum dia pergi,” lanjut Ibu Rara. Ibu Rara, menyerahkan sepucuk surat bersampul biru muda. Aku menerima surat itu dengan gemetar.
            “Te..terimakasih, Bu,” jawabku terbata.
            Aku melihat Daniel yang duduk di kursi, aku segera menghampirinya. Aku segera mengajaknya pulang. Aku ingin segera membaca surat dari Rara. Selama perjalanan pulang, aku dan Daniel diam seribu bahasa. Kami larut dalam kesedihan masing-masing.
            Sesampainya di rumah, aku segera berlari ke kamar dan membenamkan wajahku ke bantal. Aku kembali menangis. Namun, aku segera teringat surat yang di berikan ibu Rara. Aku segera membukanya.
           
            Dear Andien,
            Hai, Andien apa kabarmu hari ini? Baik bukan. Sudah lama kita tidak bertemu. Aku sangat rindu padamu. Aku ingin kembali bermain denganmu.
            Andien aku mau mengatakan sesuatu padamu, mungkin saat kamu membaca surat ini, aku sudah tidak lagi ada di dunia ini. Maafkan aku Andien aku tidak menceritakan kepadamu tentang penyakitku. Aku selama ini menderita kanker otak. Kata dokter hidupku sudah tak lama lagi. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, walaupun aku tidak ada di sampingmu, namun aku tetap ada di hatimu dan aku akan tetap menjadi sahabatmu.
            Jangan sedih, jangan menangis. Senyum donk..kalo cemberut terus nanti jelek lho…hehehe
Sudah dulu ya, Ndien. Aku sayang kamu. Terimakasih sudah mau menjadi hal terindah selama hidupku.

                                                                                                            Salam sayang
                                                                                                                   Rara

                Aku tersenyum membaca tulisan terakhir Rara. Aku kagum pada Rara, dia masih sempat mengingatku di tengah sakit yang dia rasa. Namun disisi lain aku merasa bersalah kepada diriku sendiri kenapa aku sampai bisa melupakan Rara, hanya karena tugas-tugasku. Bodohnya aku.
            Aku melirik boneka yang ada di sudut kamarku. Boneka yang akan ku jadikan kado untuk Rara, namun Tuhan berkehendak lain. Rara pergi sebelum menerima kadonya. Aku berjanji pada diriku snediri, aku akan tetap menyimpan boneka itu, boneka yang menjadi kado terakhir untuk Rara. Selesai membaca surat dari Rara aku tidak lagi menangis, aku tidak mau Rara sedih melihatku meratapinya pergi. Aku yakin saat ini Rara sedang tersenyum melihatku dari sorga. Selamat jalan sahabatku Rara.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar