Kado untuk Rara
Oleh : Melva Rosdhi L
Pagi
ini suasana terasa membosankan, karena hari ini adalah hari pertamaku untuk
kembali beraktivitas di sekolah, setelah beberapa hari menikmati liburan
kenaikan kelas. Kembali terbayang oleh ku, kesenanganku saat liburan beberapa
hari yang lalu. Sungguh menyenangkan bisa mengistirahatkan pikiranku sejenak
dari tugas-tugas sekolah.
“Andien, cepat berangkat. Sudah jam
7, nanti kamu terlambat”, suara ibuku membuatku tersadar dari lamunanku.
“ Iya, Bu. Sebentar lagi aku
berangkat”, jawabku sambil mengambil tas di meja belajarku. Sebelum keluar dari
kamar kembali aku melihat ke cermin untuk memastikan aku sudah berpakaian
dengan rapi. Aku tidak ingin hari pertamaku masuk sekolah rusak hanya karena
hal sepele. Setelah merasa yakin tidak ada yang salah dengan penampilanku, aku
segera keluar dari kamar dan berpamitan dengan Ibu
Kulangkahkan kakiku dengan gontai
saat aku memasuki gerbang sekolah. Kulihat beberapa temanku sudah mulai
berdatangan. Tampaknya mereka sangat bersemangat menyambut hari ini.
“ Hai, Andien”, sapa salah seorang
temanku,.
“ Hai juga.. “, jawabku singkat
sambil berusaha untuk tersenyum manis. Aku kembali meneruskan langkahku menuju
ruang kelasku yang baru. Tinggal bebarapa langkah lagi aku akan tiba di kelas
baruku. Terbayang oleh ku tugas-tugas yang akan aku terima nantinya. Karena
saat ini aku sudah duduk di kelas XII.
Saat
aku sudah berada di depan kelasku, tiba-tiba ada sesorang yang menabrakku,
sontak buku yang ada di tanganku melayang, jatuh berhamburan dilantai, dan tak
ketinggalan saking kagetnya aku, akupun ikut jatuh. Rasanya ingin sekali aku
segera melihat orang yang menabrakku dan membuat perhitungan dengannya. Namun
apa daya, kepala terasa pusing karena berbenturan dengan tiang yang ada di
sebelahku. Saat aku melihat orang yang menabrakku, kulihat sosok yang asing
bagiku, sosok yang belum pernah aku lihat selama 2 tahun aku bersekolah di
sekolah ini. “ Siapa orang ini, kenapa rasanya asing sekali buatku”, gumamku
dalam hati. Orang itu berusaha membantuku bangun, seolah dia tahu aku tidak
mampu bangun sendiri karena pusing.
Dia
mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri, kuraih tangannya. Dia segera
meminta maaf padaku dan membantuku membereskan buku-bukuku yang masih
berserakan dilantai.
“
Maaf ya, aku tadi gak sengaja. Aku buru-buru,” katanya dengan muka yang agak
memelas.
“
Iya, gak apa-apa kok. Tapi lain kali kalau jalan lihat-lihat,” jawabku dengan
perasaan yang sedikit kesal.
Aku
segera berlalu meninggalkan orang itu dan segera masuk keruang kelasku. Disana
kulihat Rara yang sudah siap menyambutku dengan senyuman. Rara melambaikan
tanggannya kearahku. Aku segera menuju ketempat dimana Rara duduk, aku segera
duduk disampinya dengan wajah yang masih kesal. Rara merasa ada yang lain dari
diriku.
“Kamu
kenapa, Ndin? Gak biasanya pagi-pagi begini kamu cemberut, biasanya kamu kan
selalu ceria”, tanya Rara heran.
“Hmmm…
gak ada apa-apa kok, An”, balasku sambil tersenyum. Aku enggan untuk
menceritakan kejadian yang kualami pagi ini, karena menurutku itu bukanlah hal
yang penting.
“Ayolah,
Ndien. Kamu kenapa? Cerita dong sama aku. Mungkin dengan cerita sama aku bisa
bikin hatimu lebih tenang”, kata Rara. Benar juga apa yang dikatakan Rara
mungkin dengan bercerita beban di hatiku bisa sedikit berkurang. Akhirnya
kuceritakan semua kejadian pagi itu, mulai dari aku yang masih malas untuk
beraktivitas di sekolah sampai ada seseorang yang asing, yang tadi baru saja
menabrakku.
Rara
adalah salah satu sahabat terbaikku. Aku mengenalnya saat aku duduk dikelas
satu SMP. Saat itu aku tidak mempunyai teman. Karena saat itu aku masih sangat
pemalu dan pendiam aku tidak terlalu suka berbicara jika tidak ada yang
bertanya padaku. Kebetulan saat itu Rara
juga tidak mempunyai teman. Tapi saat itu aku tidak tertarik untuk berkenalan
dengannya, karena jika dilihat-lihat nampaknya dia kurang menyenangkan dan
sedikit sombong. Namun karena ada suatu hal, yaitu aku harus satu kelompok
dengannya. Mau tak mau aku harus berkenalan dengannya. Ternyata semua dugaanku
salah. Rara tidaklah seprti yang kubayangkan. Rara ternyata sangatlah baik. Dia
bisa menerima semua yang ada pada diriku. Sejak saat itu dan Rara menjadi teman
dekat, bahkan lebih dari itu kami menjadi sahabat.
“Hhaahaha……”, Rara tertawa saat aku mengakhiri
ceritaku. Aku menjadi sedikit kesal mendengar tawa Rara.
“
Sudahlah, Ndien jangan terlalu kamu pikirin”, kata Rara kemudian.
“Iya,
Ra”.
Krriiiiingg…..
Suara bel itu membuatku dan Rara terlonjak kaget, dan menghentikan pembicaran
kami. Teman-teman satu per satu mulai memasuki kelas, membuatku enggan untuk
melanjutkan pembicaranku dengan Rara. Aku lebih memilih diam dan memperhatikan
teman-temanku yang mulai membuat suasana di kelas menjadi ramai bak suasana di
pasar. Entah apa saja yang mereka bicarakan dan lakukan hingga membuat suasana
kelas menjadi sangat riuh.
Tiba-tiba
mataku tertuju pada seseorang yang baru saja masuk ke kelasku. Aku
memperhatikan orang itu. Setelah agak lama memperhatikannya aku tau siapa orang
itu. Dia adalah orang yang tadi pagi menabrakku. Belum sempat aku menceritakan
hal itu kepada Rara, orang itu sudah menghampiriku dan mengajak aku dan Rara
berkenalan.
“
Hai, boleh kenalan gak? Aku Daniel,” kata cowok itu pada kami.
“Iya,
boleh. Aku Rara dan ini temanku Andien,” sahut Rara.
“Senang
berkenalan dengan kalian. Siapa namamu tadi aku lupa. Oh iya Andien aku minta
maaf ya kejadian yang tadi pegi. Aku benar-benar tidak sengaja,” kata cowok itu lagi yang ternyata bernama Daniel.
Aku tidak menanggapi perkataan Daniel,
aku hanya tersenyum. Daniel pun segera berlalu dan segera menuju tempat
duduknya, yang berada tepat dibelakangku.
“Kamu
kenal dia, Ndien?” tanya Rara.
“Enggak
kok. Itu thu orang yang tadi pagi menabrak aku,” jawabku.
“ooo….”
Jawab Rara dengan senyum. Pembicaraan kami terhenti karena Pak Heri sudah masuk
ke kelas dan siap untuk mengajar.
Sejak
aku dan Rara berkenalan dengan Daniel, kami bertiga menjadi teman baik. Kami
sering pergi bersama, mengerjakan tugas bersama, dan melakukan hobi kamu
bersama yaitu membaca buku di perpustakaan. Suatu hari saat aku, Rara, dan
Daniel sepakat untuk pergi ke toko buku seusai sekolah, kami ingin mencari buku
referensi tambahan.
Kriiiiiiiingggg…….
Bel yang sejak tadi kemi tunggu akhirnya berbunyi juga. Puluhan makhluk dengan
seragam putih abu-abu berhamburan keluar kelas. Begitu juga dengan aku, Rara,
dan Daniel segera keluar dari kelas. Kami segera menuju ke tempat parkir
sepeda. Kami sudah tidak sabar untuk segera pergi ke toko buku. Rara yang saat
itu tidak membawa sepeda motor memilih menungguku yang sedang mengambil sepeda
motor di depan kelas.
“Andien,
aku nunggu kamu di depan kelas aja ya?” kata Rara, sebelum aku menuju ke tempat
parkir.
“Iya,
udah terserah kamu aja,” jawabku sambil tersenyum. Aku segera melangkahkan
kakiku meninggalkan Rara di depan kelas dan segera mengambil sepeda bersama
Daniel.
Tak
lama kemudian aku sudah kembali berada di depan kelas dengan sepeda motorku dan
tentu saja bersama Daniel. Rara segera menghampiri aku, dan bersiap membonceng
aku. Namun, aku melihat perubahan wajah pada Rara. Aku merasa Rara sangat
pucat. Aku menjadi khawatir.
“
Rara, kamu kenapa? Kamu gak apa-apa kan? Wajahmu sangat pucat,” tanyaku dengan
wajah cemas. Mendengar ucapanku, Daniel segera menoleh kearah Rara. Nampaknya,
Daniel juga terkejut melihat wajah Rara yang sangat pucat.
“
Kamu kenapa,Ra?? Tanya Daniel dengan nada yang tak kalah cemas.
“Aku
gak apa-apa kok. Udah ayo berangkat, ntar keburu sore lho,” jawab Rara
menenangkan.
“Kamu
yakin, Ra?” tanyaku dan Daniel hamper bersamaan. Rara hanya mengangguk. Dia
segera duduk di boncengan sepeda motorku. Aku segera menjalankan sepeda dengan
setengah hati. Aku takut terjadi sesuatu dengan Rara. Daniel berada di belakang
sepeda motorku. Dia tidak mau mendahului kami. Dia ingin memastikan bahwa tidak
akan terjadi apa-apa dengan Rara.
Sesampainya
di toko buku, kami segera sibuk dengan buku-buku yang ingin kami beli. Di saat
aku sedang memilih-milih buku Fisika, tiba-tiba Daniel mendekatiku.
“Ndien,
Rara kenapa ya? Aku tadi lihat dia mengusap hidungnya dengan tissue dan
sepertinya dia mimisan, deh?” kata Daniel. Aku terkejut mendengar ucapan
Daniel. Selama enam tahun bersahabat dengannya, belum pernah aku melihat Rara
mengeluarkan darah dari hidungnya atau yang lebih dikenal dengan “mimisan”. Aku
segera menghampiri Rara dengan diikuti Daniel, aku tidak mau terjadi sesuatu
dengannya.
“Ra,
kamu gak apa-ap?” tanya ku dengan perasaan yang sangat cemas.
“Lhoh… memangnya aku kenapa?” Rara malah balik
bertanya denganku. Rara memang orangnya tidak suka menunjukkan sesuatu yang
terjadi padanya, dia lebih memilih memendam sendiri apa yang terjadi padanya.
Dia tidak ingin membuat sahabatnya sedih. Itulah Rara, sahabatku. Aku menghela
napas panjang mendengar jawab Rara barusan. Tidak ada gunanya bila aku memaksa
Rara untuk mengatakan apa yang terjadi padanya, dia tidak akan mengatakannya.
Aku lebih memilih diam dan melanjutkan mencari buku-buku. Nampaknya, Daniel
juga melakukan hal yang sama. Walaupun Daniel baru saja mengenal Rara, namun
Dia sudah cukup paham dengan sifat Rara.
Esok
harinya, aku berangkat lebih pagi. Entah kenapa, hari itu aku ingin segera
bertemu dengan Rara. Namun sesampainya dikelas, aku tidak mendapati Rara. Aku
hanya melihat Daniel yang tengah asyik membaca buku di pojokan. Aku segera
menuju tempat dudukku dan Rara, tidak biasanya Rara belum datang. Biasanyakan
dia selalu datang pagi-pagi. Untuk mengurangi kegelisahanku, aku berbalik
kearah Daniel.
“Daniel,
kamu tau gak kemana Rara? Kok dia belum datang ya?”
“Aku
tidak tau. Tadi malam dia juga tidak SMS aku,” jawab Daniel. Aku semakin
gelisah karena jam tanganku sudah menunjukkan pukul 06.55, itu berarti kurang 5
menit lagi bel tanda masuk berbunyi. Namun, Rara tak kunjung datang. Aku
melirik bangku Rara, dengan sedih. Dan benar saja, tak lama kemudian Bel sudah
berbunyi. Teman-teman mulai masuk dan membuat kelas menjadi gaduh. Namun,
keramaian kelas pagi itu terasa sepi buatku, karena tidak ada Rara. Pak Anton,
salah satu guru favoritku memasuki kelas, dan memulai pelajaran. Namun,
pelajaran Pak Anton hari itu tidak ada yang masuk dalam pikiranku. Pikiranku
hanya tertuju pada Rara, aku ingin pelajaran hari itu segera berakhir agar aku
bisa ke rumah Rara, mengetahui apa yang terjadi padanya. Aku tidak tahu mengapa
aku menjadi sangat mengkhawatirkan Rara, mungkin karena kejadian kemarin, saat
aku melihat Rara yang sangat pucat dan saat di toko buku, Daniel berkata bahwa
Rara mimisan. Seakan mengetahui kegelisahanku, Daniel mendorong kursiku, dan
membuatku membalikkan badanku ke arahya.
“Nanti
kita kerumah Rara ya? Aku ingin tahu kenapa dia tidak masuk hari ini, aku takut
terjadi sesuatu padanya.” Kata Daniel setengah berbisik. Aku hanya mengangguk.
Seusai sekolah aku dan Daniel segera
menuju ke rumah Rara. Sesampainya di sana, aku segera mengetuk pintu. Seorang
wanita paruh baya membuka pintu sambil tersenyum. Dia adalah Ibu Rara.
“Selamat siang, Tante. Maaf
mengganggu. Raranya ada?” tanya Daniel dengan sopan.
“Iya, Raranya ada di dalam. Silahkan
masuk.” Jawab ibu Rara,dengan ramah. Kami segera mengikuti langakah Ibu Rara
masuk ke dalam. “ Rara sedang istirahat di kamarnya. Dia sedang kurang enak
badan.” Sambung Ibu Rara. Ibu Rara, mengajak kami menuju ke kamar Rara. Saat
Ibu Rara membuka pintu kamar, kulihat Rara sedang terbaring di kamarnya.
Wajahnya terlihat pucat.
Setelah
Ibu Rara keluar dari kamar itu, aku segera mendekati Rara dan duduk di samping
tempat tidurnya. Daniel berdiri disampingku dengan tatapan yang tak jauh
berbeda denganku, yaitu tatapan iba dan cemas. Ku genggam tangan Rara. Rara
membuka matanya perlahan. Dia tersenyum melihat aku dan Daniel.
“Hai,
mengapa kalian kesini? Maaf ya aku tidak memberitahu kalian kalau hari ini aku
tidak masuk.” Kata Rara dengan suara yang sangat pelan.
“
Iya, Ra. Tidak apa-apa. Kamu kenapa? Kamu sakit apa?” tanyaku.
“
Aku tidak apa-apa, mungkin aku hanya kelelahan,” jawab Rara.
“Benar
kamu tidak apa-apa?” tambah Daniel. Rara hanya mengangguk. Kami bercerita
kejadian-kejadian di sekolah hari itu kepada Rara. Sesekali Rara, tertawa atau
tersenyum, namun terkadang aku melihat Rara seperti sedang menahan rasa sakit.
Tapi kau tidak berani bertanya kepadanya. Tak terasa hari sudah sore, aku dan
Daniel segera berpamitan kepada Rara dan Ibunya.
Pagi
kembali menjelang, aku segera bersiap ke sekolah. Aku melangkah dengan enggan.
Aku pikir pasti hari ini Rara belum masuk. Namun, saat aku memasuki kelas, aku
melihat sesorang gadis manis duduk di tempat dudukku dengan senyum manis. Rara,
ya Rara sudah masuk sekolah. Semangatku kembali melihat Rara sudah kembali
masuk. Aku segera menghampirinya dengan ceria.
“Ndien,
ntar pulang sekolah mau gak temenin aku jalan-jalan?” tanya Rara.
“Dengan
senang hati,” jawabku ringan.
“Nanti
kamu ikut juga ya, Dan?” kata Rara kepada Daniel. Daniel mengangguk dengan
senyum.
Sepulang
sekolah aku dan Daniel menemani Rara ke jalan-jalan kesebuah pusat
perbelanjaan. Disaat kami melewati sebuah toko boneka, Rara berhenti. Dia
menatap ke salah satu boneka yang di pajang di etalase toko itu. Sepertinya dia
ingin memiliki boneka itu.
“Andien,
Daniel lihat deh boneka itu, lucu ya?” kata Rara dengan mata bebinar. Aku dan
Daniel saling pandang dan tersenyum.
“Kamu
mau beli itu?” tanya Daniel.
“Ah.. enggak, aku gak bawa
uang,,heheh” jawab Rara. “ Udah, yuk pulang. Udah sore nih,” lanjut Rara. Kami
segera pulang. Di dalam benakku aku berpikir, “satu minggu lagi kan Rara ulang
tahun. Aku belikan boneka itu saja.” Saat perjalanan pulang, aku menyampaikan
niatku itu kepada Daniel. Danniel sangat mendukungku dan dia mengatakan dia mau
patungan untuk membeli boneka itu.
Esok
paginya, kembali kudapati Rara tidak masuk sekolah. Namun, aku tidak terlalu
khawatir karena Rara meberitahuku mengapa dia tidak masuk. Rara mengatakan
bahwa dia tidak enak badan. Terpaksa hari itu aku kembali harus duduk sendiri
tanpa di temani Rara. Untung saja Danniel mau berbaik hati menemaniku duduk.
Hari-hariku
disibukkan dengan serangkaian tugas. Aku sampai tidak sadar Rara sudah tidak
masuk selama tiga hari. Dan aku hamper lupa jika besok adalah hari ulang tahun
Rara.
“Ndien,
Rara kok udah tiga hari gak masuk ya?” tanya Daniel suatu hari.
“Astaga…iya
ya.. kenapa aku baru sadar Rara sudah lama tidak masuk. Oiya.. besok kan Rara
juga ulang tahun,” kataku sambil menepuk dahiku.
“Daniel,
ntar pulang sekolah temenin aku ke toko boneka yang seminggu lalu kita kunjungi
dengan Rara itu,” pintaku kepada Daniel.
“Iyah..”
jawab Daniel singkat.
Sore
itu dengan ditemani Daniel aku kembali mendatangi toko boneka itu. Aku segera
menuju boneka yang di pajang di etalase toko itu. Aku segera membayarnya dan
meminta kepada karyawan toko itu untuk membungkus boneka itu dengan kertas kado
berwarna biru muda, warna kesukaan Rara. Aku tersenyum puas saat membawa pulang
boneka itu. Aku membayangkan wajah Rara yang senang menerima boneka itu.
“Pasti
Rara senang menerima boneka itu. Besok kita kerumahnya ya? Kita buat kejutan
untuk Rara,” kata Daniel seakan mengerti isi hatiku.
“Iya,
Rara pasti senang. Ok. Besok kamu jemput aku ya?” pintaku.
“Ok.
Besok aku jemput kamu jam 10,” jawab Daniel.
Ya,
besok minggu kami akan membuat sebuah kajutan untuk Rara. Sekaligus aku ingin
meminta maaf kepada Rara karena akhir-akhir ini aku tidak terlalu
memperhatikannya karena tugas-tugas yang semakin hari semakin banyak.
Malamnya aku berbaring di tempat
tidurku, sambil membayangkan reaksi Rara besok. Hingga tanpaku sadari aku jatuh
terlelap.
Kriiing…..krrriiiiing….. jam weker
di kamarku membangunkanku dari tidur lelapku. Kulirik jam wekerku. Huh.. sudah
pukul setengah Sembilan. Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan bersiap
pergi kerumah Rara. Pukul 10.00 tepat Daniel menjemputku. Dengan semangat kami
menuju kerumah Rara. Tak lupa aku membawa boneka yang kemarin kubeli bersama
Daniel sebagai kado ulangtahun Rara.
Sesampainya di rumah Rara, aku dan
Daniel sangat terkejut. Aku melihat banyak orang berada di rumah Rara. Aku
segera masuk kerumah Rara. Disana aku melihat kakak Rara, Leni, tengah
menangis. Aku mendekati kak Leni. Aku bertanya apa yang terjadi.
“Kak, apa yang terjadi. Mana Rara,”
tanyaku cepat.
“Rara…rara meninggal,” jawab Kak
Leni di sela isak tangisnya. Aku tercenggang, tubuhku serasa di sambar petir.
Seketika tubuhku lunglai tak berdaya. Aku langsung terduduk. Tatapanku kosong.
Tak bisa aku bayangkan apa yang sedang terjadi. Semuanya bagaikan mimpi. Daniel
yang sedari tadi berada disampingku tidak bisa berkata apapun. Seakan dia larut
dalam kesedihan.
Tangisku pecah saat, jenasah Rara
sampai dirumah. Aku segera mendekati tubuh Rara yang telah kaku. Ku genggam
tangannya, kurasakan tubuhnya yang dingin. Keceriannya telah luntur. Tak ada
lagi senyum manis di bibirnya. Seketika dunia seakan berhenti.
“Andien, ikhlaskan Rara. Mungkin ini
sudah jalan hidup Rara,” kata Ibu Rara. Ibu Rara terlihat sangat kuat dan
Ikhlas melepaskan kepergian Rara. Aku tetap menangis, aku melihat Daniel yang
sesekali mengusap matanya yang basah.
Aku ikut menghantarkan Rara sampai
di peristirahatannya yang terakhir. Aku tidak bisa mengendalikan diriku, aku
belum siap untuk kehilangan Rara. Saat jenasah Rara di masukkan ke dalam tanah,
aku benar-benar tidak dapat mengendalikan perasaanku. Aku menangis
sejadi-jadinya. Aku merasakan pandanganku menjadi kabur. Aku tidak tau apa yang
terjadi padaku setelah itu.
Saat aku membuka mata, aku melihat
sekelilingku. “Aku dimana?” pikirku.
“Kamu sudah sadar, Andien?” suara
itu mengejutkanku. Oh, ternyata Ibu Rara. “Kamu tadi pingsan saat di pemakaman.
Sekarang kamu ada di klinik,” Mendengar kata pemakaman, aku kembali menangis,
aku belum bisa kehilangan Rara.
“Andien ini ada titipan dari Rara,
sebelum dia pergi,” lanjut Ibu Rara. Ibu Rara, menyerahkan sepucuk surat
bersampul biru muda. Aku menerima surat itu dengan gemetar.
“Te..terimakasih, Bu,” jawabku
terbata.
Aku melihat Daniel yang duduk di
kursi, aku segera menghampirinya. Aku segera mengajaknya pulang. Aku ingin
segera membaca surat dari Rara. Selama perjalanan pulang, aku dan Daniel diam
seribu bahasa. Kami larut dalam kesedihan masing-masing.
Sesampainya di rumah, aku segera
berlari ke kamar dan membenamkan wajahku ke bantal. Aku kembali menangis.
Namun, aku segera teringat surat yang di berikan ibu Rara. Aku segera
membukanya.
Dear
Andien,
Hai,
Andien apa kabarmu hari ini? Baik bukan. Sudah lama kita tidak bertemu. Aku
sangat rindu padamu. Aku ingin kembali bermain denganmu.
Andien
aku mau mengatakan sesuatu padamu, mungkin saat kamu membaca surat ini, aku
sudah tidak lagi ada di dunia ini. Maafkan aku Andien aku tidak menceritakan
kepadamu tentang penyakitku. Aku selama ini menderita kanker otak. Kata dokter
hidupku sudah tak lama lagi. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, walaupun aku
tidak ada di sampingmu, namun aku tetap ada di hatimu dan aku akan tetap
menjadi sahabatmu.
Jangan
sedih, jangan menangis. Senyum donk..kalo cemberut terus nanti jelek lho…hehehe
Sudah dulu ya, Ndien. Aku sayang
kamu. Terimakasih sudah mau menjadi hal terindah selama hidupku.
Salam
sayang
Rara
Aku tersenyum membaca tulisan terakhir Rara. Aku kagum pada
Rara, dia masih sempat mengingatku di tengah sakit yang dia rasa. Namun disisi
lain aku merasa bersalah kepada diriku sendiri kenapa aku sampai bisa melupakan
Rara, hanya karena tugas-tugasku. Bodohnya aku.
Aku
melirik boneka yang ada di sudut kamarku. Boneka yang akan ku jadikan kado
untuk Rara, namun Tuhan berkehendak lain. Rara pergi sebelum menerima kadonya.
Aku berjanji pada diriku snediri, aku akan tetap menyimpan boneka itu, boneka
yang menjadi kado terakhir untuk Rara. Selesai membaca surat dari Rara aku
tidak lagi menangis, aku tidak mau Rara sedih melihatku meratapinya pergi. Aku
yakin saat ini Rara sedang tersenyum melihatku dari sorga. Selamat jalan
sahabatku Rara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar